Jakarta, bantencom - Perjalanan gugatan 32 warga negara Indonesia terhadap pencemaran udara di Jakarta masih belum juga usai. Pembacaan putusan gugatan yang harusnya berlangsung kemarin (20/5) kembali ditunda karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menilai masih ada berkas yang belum lengkap.
Pembacaan putusan gugatan dengan tergugat antara lain Presiden Republik Indonesia, Gubernur DKI Jakarta, dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup ini ditunda setidaknya hingga 10 Juni 2021.
Ini bukan kali pertama pembacaan putusan ditunda sejak gugatan diserahkan pada awal Juli 2019. Terhitung gugatan ini sudah hampir menyentuh usia 2 tahun dan proses singkatnya bisa dibaca di sini. Sungguh perjalanan yang panjang, bukan?
Padahal, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Seperti tercantum dalam Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Saat ini, hak tersebut tengah diabaikan dan warga negara berusaha mendapatkannya kembali lewat gugatan yang disebut The New York Times sebagai gugatan "langka".
Yang juga langka di Jakarta adalah langit biru tanpa polusi. Momen ini paling sering dirasakan di Jakarta saat arus mudik Lebaran, ketika pergerakan kendaraan bermotor pribadi berkurang drastis. Tapi tidak dengan tahun ini.
Peniadaan cuti bersama dan larangan mudik ternyata membuat langit biru di Jakarta pun ikut tiada karena tertutup polusi.
Selama bulan Ramadhan, aktivitas tergolong normal bahkan seperti sebelum pandemi. Berdasarkan data IQAir, H-1 Lebaran atau tanggal 12 Mei 2021 justru menjadi hari paling tercemar selama satu bulan terakhir dan masuk kategori Berbahaya untuk Kelompok Sensitif. Dan hanya ada 2 dari 30 hari terakhir yang tergolong cukup baik atau termasuk kategori Sedang.
Data historis ini bisa sedikit menggambarkan mengapa Jakarta menduduki peringkat teratas kota yang rentan dilihat dari segi lingkungan. Dalam laporan terbaru dari Verisk Maplecroft, Jakarta mengungguli lebih dari 500 kota lainnya karena dipengaruhi ancaman polusi udara, perubahan iklim, gelombang panas, gempa, dan juga banjir.
Dua kota Indonesia lainnya yang masuk dalam peringkat sepuluh teratas adalah Bandung dan Surabaya.
Kondisi udara Jakarta yang buruk juga semakin memperparah kenyataan bahwa berada di dalam atau di luar ruangan memiliki ancaman tersendiri bagi warga Jakarta di tengah pandemi ini. Studi tentang dampak polusi udara terhadap COVID-19 menunjukan bahwa polusi dapat memperparah dan meningkatkan risiko kematian akibat penyakit ini.
Jadi, mengapa memenangkan gugatan atas pencemaran udara menjadi penting bagi semua masalah di atas?
Ini bisa menjadi langkah awal untuk pemerintah dalam membuat kebijakan pengendalian pencemaran udara yang tepat sasaran. Dimulai dengan merevisi Baku Mutu Udara Ambien Indonesia yang masih sangat jauh dari standar WHO. Juga perlu adanya target dan strategi yang jelas dan terukur, misalnya dengan indikator penurunan PM 2.5 dalam jangka waktu tertentu di sejumlah lokasi di Jakarta. Dan ini harus dilakukan secepatnya.
Kami berharap kamu mengambil bagian dalam perjalanan panjang menuju langit Jakarta yang kembali biru, sekecil apapun. Kami juga berharap Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memenangkan gugatan ini karena perubahan dari masyarakat saja tanpa perubahan kebijakan tidak akan cukup untuk mengendalikan kerusakan yang sudah terjadi.
Ayo, turut serta untuk mengawal jalannya sidang dan ramaikan tagar #dukunghakimmenangkangugatan karena #udarabersihhakwarga
Salam hijau damai,
Greenpeace Indonesia