Arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa hukum di luar Pengadilan.

Diposkan oleh On 5/21/2021 05:34:00 PM with No comments

bantencom - Arbitrase merupakan suatu bentuk 
peradilan yang diselenggarakan 
berdasarkan kehendak serta itikad baik dari 
pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan 
mereka tersebut diselesaikan oleh hakim 
yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, 
dengan pengertian bahwa putusan yang 
diambil oleh hakim tersebut merupakan 
putusan yang bersifat final (putusan pada 
tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua 
belah pihak untuk melaksanakannya. Tujuan 
penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui 
bagaimana arbitrase digunakan sebagai 
salah satu bentuk penyelesaian sengketa, (2) 
Untuk mengetahui bagaimana pengaturan 
hukum mengenai arbitrase menurut 
Undang-undang No. 30 Tahun 1999. 
Metode penelitian yang digunakan adalah 
penelitian normatif. Kesimpulan penelitian: 
(1) Arbitrase dapat digunakan sebagai salah 
satu alternatif untuk menyelesaikan 
sengketa diluar pengadilan umum yang 
didasarkan atas perjanjian tertulis dari para 
pihak yang bersengketa. (2) Pranata 
arbitrase bila ditinjau dari UU No. 30 Tahun 
1999 memiliki beberapa kelebihan 
dibandingkan dengan pranata peradilan. 
Sebaiknya pihak arbiter berhati-hati dalam 
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase 
karena tidak semua sengketa dapat 
diselesaikan melalui arbitrase, melainkan 
hanya sengketa mengenai hak yang 
menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh 
para pihak yang bersengketa atas dasar kata 
sepakat mereka. Sebaiknya sosialisasi terhadap peran dan fungsi arbitrase sebagai 
salah satu alternatif penyelesaian sengketa 
diluar pengadilan kepada masyarakat dan 
kalangan dunia usaha dilakukan mengingat 
pranata arbitrase memiliki beberapa 
kelebihan dalam penyelesaian sengketa 
dibandingkan dengan pranata peradilan.  
Kehidupan bermasyarakat sangatlah 
dinamis, sehingga tidak jarang antara satu 
warga masyarakat dengan masyarakat 
lainnya terjadi perselisihan karena adanya 
perbedaan kepentingan. Dalam kehidupan 
bermasyarakat setiap masyarakat memiliki 
berbagai macam cara untuk memperoleh 
kesepakatan dalam proses perkara atau 
untuk penyelesaian sengketa dan konflik. 
Setiap cara yang dipakai, untuk 
penyelesaian suatu sengketa tertentu jelas 
memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak 
yang bersengketa maupun masyarakat 
dalam arti seluas-luasnya. Demikian juga 
halnya dalam penyelesaian sengketa 
arbitrase, yang merupakan sebuah 
prosedur hukum, menyangkut proses 
gugatan di hadapan pihak ketiga sebagai 
pembuat keputusan, yang sekaligus 
bertindak selaku pihak yang akan 
memeriksa gugatan tersebut. 
Pada konteks ini terlihat bahwa arbitrase 
merupakan suatu bentuk peradilan yang 
diselenggarakan oleh dan berdasarkan 
kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak 
yang berselisih agar perselisihan mereka 
tersebut diselesaikan oleh hakim yang 
mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan 
pengertian bahwa putusan yang diambil 
oleh hakim tersebut merupakan putusan 
yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah 
pihak untuk melaksanakannya. 
Hakim-hakim tersebut dikenal juga 
dengan nama wasit (menurut Rv) atau 
arbiter. Melalui pengertian yang diberikan 
ini, tampak bagi kita bahwa arbitrase tidak 
lain merupakan suatu badan peradilan, yang 
putusannya memiliki sifat final dan yang 
mengikat para pihak yang menginginkan 
penyelesaian perselisihan mereka dilakukan 
lewat pranata arbitrase tersebut. 
Pada proses penyelesaian sengketa 
melalui arbitrase, para pihak harus dengan 
jelas mencantumkan bahwa mereka 
menginginkan penyelesaian sengketa 
melalui arbitrase dan mereka juga telah 
menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja 
yang akan mereka tunjuk sebagai arbiter 
yang akan menyelesaikan sengketa mereka, 
tata cara apa yang harus ditempuh, 
bagaimana cara (para) arbiter 
menyelesaikan sengketa tersebut, berapa 
lama sengketa tersebut harus telah 
diselesaikan, serta bagaimana sifat dari 
putusan yang dijatuhkan oleh (para) arbiter 
tersebut. 
Pengangkatan arbiter untuk 
menyelesaikan suatu sengketa dilakukan 
oleh para pihak dalam klausula atau 
persetujuan arbitrase. Arbiter demikian 
tidak dapat diajukan perlawanan 
terhadapnya. Demikian pula arbiter yang 
diangkat oleh hakim atas kuasa para pihak 
tidak dapat diajukan perlawanan 
terhadapnya.
Pasal 615 ayat (1) Rv, menguraikan : 
"Adalah diperkenankan kepada siapa saja 
yang terlibat dalam suatu sengketa yang 
mengenai hak-hak yang berada dalam 
kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk 
menyerahkan pemutusan sengketa tersebut 
kepada seorang atau beberapa orang wasit"
(Widjaja dan Yani, 2001:17).
Selanjutnya ayat (3) pasal 615 Rv 
ditentukan: 
"Bahkan adalah diperkenankan mengikat 
diri satu sama lain, untuk menyerahkan 
sengketa-sengketa yang mungkin timbul di 
kemudian hari, kepada pemutusan seorang 
atau beberapa orang wasit".
Sifat Perjanjian Arbitrase Menurut Rv 
Undang-undang mensyaratkan bahwa 
setiap persetujuan arbitrase harus dilakukan 
secara tertulis, baik notariil maupun di 
bawah tangan, serta ditandatangani oleh 
para pihak. Dalam hal salah satu atau kedua 
belah pihak tidak dapat membubuhkan 
tanda tangannya, maka persetujuan 
tersebut harus dilakukan secara notariil. 
Klausula atau persetujuan arbitrase tersebut 
juga harus memuat masalah yang menjadi 
sengketa, nama-nama dan tempat tinggal 
(kedudukan) para pihak, nama-nama dan 
tempat tinggal (para) arbiter dan jumlah 
arbiter yang harus selalu ganjil. Jika hal-hal 
tersebut tidak dipenuhi, maka persetujuan 
tersebut batal demi hukum (pasal 618 ayat 
(1), (2) dan (3) Rv) (Harahap, 2001:70). 
2.2. Alternatif Penyelesaian Sengketa
Gautama (1991:27) menyatakan Pranata 
alternatif penyelesaian sengketa yang 
diperkenalkan oleh Undang-undang No.30 
Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam pasal 
6 terdiri dari: 
1. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan 
sendiri oleh para pihak dalam bentuk 
"negosiasi";
2. Penyelesaian sengketa yang 
diselenggarakan melalui (dengan 
bantuan) pihak ketiga yang netral di luar 
para pihak yaitu dalam bentuk mediasi 
yang diatur dalam pasal 6 ayat (3), pasal 
6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) UU No. 30 
Tahun 1999; 
3. Penyelesaian melalui arbitrase pasal 6 
ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun 
1999. 
Kata-kata yang tertuang dalam rumusan 
pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 30 
Tahun 1999 memiliki makna dan obyektif 
yang hampir sama dengan yang diatur 
dalam pasal 1851 Kitab undang-undang 
Hukum Perdata, hanya saja, "negosiasi" 
menurut rumusan pasal 6 ayat (2) undang�undang No. 30 tahun 1999 tersebut : 
(1) Diberikan tenggang waktu penyelesaian 
paling lama 14 hari dan 
(2) Penyelesaian sengketa tersebut harus 
dilakukan dalam bentuk "pertemuan 
langsung" oleh dan antara para pihak 
yang bersengketa. 
Undang-undang No.30 Tahun 1999, 
menentukan kesepakatan penyelesaian 
sengketa atau beda pendapat secara tertulis 
adalah final dan mengikat bagi para pihak 
untuk dilaksanakan dengan itikad baik. 
Kesepakatan tertulis tersebut wajib 
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam 
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 
terhitung sejak penandatanganan dan wajib 
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 
(tiga puluh) hari sejak pendaftaran. 
Undang-undang No.30 Tahun 1999 
membedakan mediator ke dalam : 
(1) Mediator yang ditunjuk secara bersama 
oleh para pihak (pasal 6 ayat (3); dan 
(2) Mediator yang ditunjuk oleh lembaga 
arbitrase atau lembaga alternatif 
penyelesaian sengketa yang ditunjuk 
oleh para pihak (pasal 6 ayat (4). 
Meskipun diberikan suatu "time-frame" 
(jangka waktu) yang jelas, kedua ketentuan 
tersebut terkesan memperpanjang jangka 
waktu alternatif penyelesaian sengketa di 
luar pengadilan. Tidak ada suatu kejelasan 
apakah ketentuan tersebut bersifat 
memaksa atau dapat disimpangi oleh para 
pihak. Walau demikian dengan prinsip 
efisiensi waktu tentunya para pihak dapat 
mempergunakan hanya salah satu dari kedua macam "mediator" tersebut.
Pendapat hukum yang diberikan oleh 
lembaga arbitrase, bersifat "mengikat" guna 
menyelesaikan suatu bentuk perbedaan 
paham, atau perselisihan pendapat ataupun 
mengenai suatu "ketidakjelasan" akan suatu 
hubungan hukum ataupun rumusan dalam 
perjanjian, yang dihadapi oleh para pihak 
dalam suatu perjanjian dengan "klausula" 
arbitrase, sebagaimana diatur dalam 
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang 
arbitrase dan altenratif penyelesaian 
sengketa. 
Rumusan Pasal 52 UU. No.30 Tahun 1999 
tentang arbitrase dan alternatif 
penyelesaian sengketa, menyatakan bahwa 
para pihak dalam suatu perjanjian berhak 
untuk memohon pendapat yang mengikat 
dari lembaga arbitrase atas hubungan 
hukum tertentu dari suatu perjanjian. 
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan 
pelaksanaan dari pengertian tentang 
lembaga arbitrase yang diberikan dalam 
Pasal 1 angka 8 UU. No.30 Tahun 1999 yang 
menyatakan bahwa : 
"Lembaga arbitrase adalah hukum badan 
yang dipilih oleh para pihak yang 
bersengketa untuk memberikan putusan 
mengenai sengketa tertentu; lembaga 
tersebut juga dapat memberikan pendapat 
yang mengikat mengenai suatu hubungan 
hukum tertentu dalam hal belum timbul 
sengketa".
Menurut ketentuan Pasal 52, pendapat 
hukum yang diberikan oleh lembaga 
arbitrase tersebut dikatakan bersifat 
mengikat (binding) oleh karena pendapat 
yang diberikan tersebut akan menjadi 
bagian yang terpisahkan dari perjanjian 
pokok (yang dimintakan pendapatnya pada 
lembaga arbitrase tersebut). Setiap 
pelanggaran terhadap pendapat hukum 
yang diberikan tersebut berarti pelanggaran 
terhadap perjanjian (breach of contract-wan 
prestasi). 

#belajarhukum
#advokatsuwadi
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »