bantencom - Arbitrase merupakan suatu bentuk
peradilan yang diselenggarakan
berdasarkan kehendak serta itikad baik dari
pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan
mereka tersebut diselesaikan oleh hakim
yang mereka tunjuk dan angkat sendiri,
dengan pengertian bahwa putusan yang
diambil oleh hakim tersebut merupakan
putusan yang bersifat final (putusan pada
tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua
belah pihak untuk melaksanakannya. Tujuan
penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui
bagaimana arbitrase digunakan sebagai
salah satu bentuk penyelesaian sengketa, (2)
Untuk mengetahui bagaimana pengaturan
hukum mengenai arbitrase menurut
Undang-undang No. 30 Tahun 1999.
Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian normatif. Kesimpulan penelitian:
(1) Arbitrase dapat digunakan sebagai salah
satu alternatif untuk menyelesaikan
sengketa diluar pengadilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari para
pihak yang bersengketa. (2) Pranata
arbitrase bila ditinjau dari UU No. 30 Tahun
1999 memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan pranata peradilan.
Sebaiknya pihak arbiter berhati-hati dalam
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
karena tidak semua sengketa dapat
diselesaikan melalui arbitrase, melainkan
hanya sengketa mengenai hak yang
menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh
para pihak yang bersengketa atas dasar kata
sepakat mereka. Sebaiknya sosialisasi terhadap peran dan fungsi arbitrase sebagai
salah satu alternatif penyelesaian sengketa
diluar pengadilan kepada masyarakat dan
kalangan dunia usaha dilakukan mengingat
pranata arbitrase memiliki beberapa
kelebihan dalam penyelesaian sengketa
dibandingkan dengan pranata peradilan.
Kehidupan bermasyarakat sangatlah
dinamis, sehingga tidak jarang antara satu
warga masyarakat dengan masyarakat
lainnya terjadi perselisihan karena adanya
perbedaan kepentingan. Dalam kehidupan
bermasyarakat setiap masyarakat memiliki
berbagai macam cara untuk memperoleh
kesepakatan dalam proses perkara atau
untuk penyelesaian sengketa dan konflik.
Setiap cara yang dipakai, untuk
penyelesaian suatu sengketa tertentu jelas
memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak
yang bersengketa maupun masyarakat
dalam arti seluas-luasnya. Demikian juga
halnya dalam penyelesaian sengketa
arbitrase, yang merupakan sebuah
prosedur hukum, menyangkut proses
gugatan di hadapan pihak ketiga sebagai
pembuat keputusan, yang sekaligus
bertindak selaku pihak yang akan
memeriksa gugatan tersebut.
Pada konteks ini terlihat bahwa arbitrase
merupakan suatu bentuk peradilan yang
diselenggarakan oleh dan berdasarkan
kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak
yang berselisih agar perselisihan mereka
tersebut diselesaikan oleh hakim yang
mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan
pengertian bahwa putusan yang diambil
oleh hakim tersebut merupakan putusan
yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah
pihak untuk melaksanakannya.
Hakim-hakim tersebut dikenal juga
dengan nama wasit (menurut Rv) atau
arbiter. Melalui pengertian yang diberikan
ini, tampak bagi kita bahwa arbitrase tidak
lain merupakan suatu badan peradilan, yang
putusannya memiliki sifat final dan yang
mengikat para pihak yang menginginkan
penyelesaian perselisihan mereka dilakukan
lewat pranata arbitrase tersebut.
Pada proses penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, para pihak harus dengan
jelas mencantumkan bahwa mereka
menginginkan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase dan mereka juga telah
menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja
yang akan mereka tunjuk sebagai arbiter
yang akan menyelesaikan sengketa mereka,
tata cara apa yang harus ditempuh,
bagaimana cara (para) arbiter
menyelesaikan sengketa tersebut, berapa
lama sengketa tersebut harus telah
diselesaikan, serta bagaimana sifat dari
putusan yang dijatuhkan oleh (para) arbiter
tersebut.
Pengangkatan arbiter untuk
menyelesaikan suatu sengketa dilakukan
oleh para pihak dalam klausula atau
persetujuan arbitrase. Arbiter demikian
tidak dapat diajukan perlawanan
terhadapnya. Demikian pula arbiter yang
diangkat oleh hakim atas kuasa para pihak
tidak dapat diajukan perlawanan
terhadapnya.
Pasal 615 ayat (1) Rv, menguraikan :
"Adalah diperkenankan kepada siapa saja
yang terlibat dalam suatu sengketa yang
mengenai hak-hak yang berada dalam
kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk
menyerahkan pemutusan sengketa tersebut
kepada seorang atau beberapa orang wasit"
(Widjaja dan Yani, 2001:17).
Selanjutnya ayat (3) pasal 615 Rv
ditentukan:
"Bahkan adalah diperkenankan mengikat
diri satu sama lain, untuk menyerahkan
sengketa-sengketa yang mungkin timbul di
kemudian hari, kepada pemutusan seorang
atau beberapa orang wasit".
Sifat Perjanjian Arbitrase Menurut Rv
Undang-undang mensyaratkan bahwa
setiap persetujuan arbitrase harus dilakukan
secara tertulis, baik notariil maupun di
bawah tangan, serta ditandatangani oleh
para pihak. Dalam hal salah satu atau kedua
belah pihak tidak dapat membubuhkan
tanda tangannya, maka persetujuan
tersebut harus dilakukan secara notariil.
Klausula atau persetujuan arbitrase tersebut
juga harus memuat masalah yang menjadi
sengketa, nama-nama dan tempat tinggal
(kedudukan) para pihak, nama-nama dan
tempat tinggal (para) arbiter dan jumlah
arbiter yang harus selalu ganjil. Jika hal-hal
tersebut tidak dipenuhi, maka persetujuan
tersebut batal demi hukum (pasal 618 ayat
(1), (2) dan (3) Rv) (Harahap, 2001:70).
2.2. Alternatif Penyelesaian Sengketa
Gautama (1991:27) menyatakan Pranata
alternatif penyelesaian sengketa yang
diperkenalkan oleh Undang-undang No.30
Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam pasal
6 terdiri dari:
1. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan
sendiri oleh para pihak dalam bentuk
"negosiasi";
2. Penyelesaian sengketa yang
diselenggarakan melalui (dengan
bantuan) pihak ketiga yang netral di luar
para pihak yaitu dalam bentuk mediasi
yang diatur dalam pasal 6 ayat (3), pasal
6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) UU No. 30
Tahun 1999;
3. Penyelesaian melalui arbitrase pasal 6
ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun
1999.
Kata-kata yang tertuang dalam rumusan
pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 30
Tahun 1999 memiliki makna dan obyektif
yang hampir sama dengan yang diatur
dalam pasal 1851 Kitab undang-undang
Hukum Perdata, hanya saja, "negosiasi"
menurut rumusan pasal 6 ayat (2) undang�undang No. 30 tahun 1999 tersebut :
(1) Diberikan tenggang waktu penyelesaian
paling lama 14 hari dan
(2) Penyelesaian sengketa tersebut harus
dilakukan dalam bentuk "pertemuan
langsung" oleh dan antara para pihak
yang bersengketa.
Undang-undang No.30 Tahun 1999,
menentukan kesepakatan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat bagi para pihak
untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
Kesepakatan tertulis tersebut wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penandatanganan dan wajib
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Undang-undang No.30 Tahun 1999
membedakan mediator ke dalam :
(1) Mediator yang ditunjuk secara bersama
oleh para pihak (pasal 6 ayat (3); dan
(2) Mediator yang ditunjuk oleh lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa yang ditunjuk
oleh para pihak (pasal 6 ayat (4).
Meskipun diberikan suatu "time-frame"
(jangka waktu) yang jelas, kedua ketentuan
tersebut terkesan memperpanjang jangka
waktu alternatif penyelesaian sengketa di
luar pengadilan. Tidak ada suatu kejelasan
apakah ketentuan tersebut bersifat
memaksa atau dapat disimpangi oleh para
pihak. Walau demikian dengan prinsip
efisiensi waktu tentunya para pihak dapat
mempergunakan hanya salah satu dari kedua macam "mediator" tersebut.
Pendapat hukum yang diberikan oleh
lembaga arbitrase, bersifat "mengikat" guna
menyelesaikan suatu bentuk perbedaan
paham, atau perselisihan pendapat ataupun
mengenai suatu "ketidakjelasan" akan suatu
hubungan hukum ataupun rumusan dalam
perjanjian, yang dihadapi oleh para pihak
dalam suatu perjanjian dengan "klausula"
arbitrase, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
arbitrase dan altenratif penyelesaian
sengketa.
Rumusan Pasal 52 UU. No.30 Tahun 1999
tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa, menyatakan bahwa
para pihak dalam suatu perjanjian berhak
untuk memohon pendapat yang mengikat
dari lembaga arbitrase atas hubungan
hukum tertentu dari suatu perjanjian.
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan
pelaksanaan dari pengertian tentang
lembaga arbitrase yang diberikan dalam
Pasal 1 angka 8 UU. No.30 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa :
"Lembaga arbitrase adalah hukum badan
yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu; lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat
yang mengikat mengenai suatu hubungan
hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa".
Menurut ketentuan Pasal 52, pendapat
hukum yang diberikan oleh lembaga
arbitrase tersebut dikatakan bersifat
mengikat (binding) oleh karena pendapat
yang diberikan tersebut akan menjadi
bagian yang terpisahkan dari perjanjian
pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Setiap
pelanggaran terhadap pendapat hukum
yang diberikan tersebut berarti pelanggaran
terhadap perjanjian (breach of contract-wan
prestasi).
#belajarhukum
#advokatsuwadi