bantencom - Ada pihak bahkan juga sebagian hakim yang berpendapat bahwa tolak ukur kepuasan masyarakat atas putusan pengadilan adalah tidak diajukannya upaya hukum atas putusan tersebut. Dengan begitu masyarakat menganggap putusan tersebut adil.
Menurut pendapat saya, itu terlalu simplistis. Karena begini. Proses peradilan itu panjang sekali. Misalnya peradilan pidana, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan (yang didalamnya ada proses pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), ada juga pembelaan dari Terdakwa), lalu ujungnya nanti barulah putusan hakim. Hakim mempertimbangkan segala fakta yang terungkap di persidangan, menemukan atau menerapkan hukum bagi perkara itu, lalu menjatuhkan putusannya.
Jika Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan dakwaannya, atau buktinya bisa dilemahkan oleh pembelaan Terdakwa maka putusannya bebas. Ada juga putusan lepas dari tuntutan hukum (karena perbuatannya bukan tindak pidana atau ada hal-hal yang menghapuskan pidana). Kalau Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, dan dijatuhi hukuman maka putusannya disebut putusan pemidanaan.
Dari keadaan-keadaan di atas, bisa banyak kemungkinan yang akan terjadi pada putusan itu. Misalnya antara lain :
1. Kalau bebas, Terdakwa pasti senang tapi tidak dengan Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum pasti mengajukan kasasi, karena, selain ada kewajiban demikian dari sisi sistem internal mereka, bisa juga memang tidak sependapat dengan pertimbangan hakimnya.
2. Kalau putusan pemidanaan, hukuman yang dijatuhkan
hakim menurut Jaksa Penuntut Umum sudah adil, tapi menurut Terdakwa masih terlalu berat. Lalu Terdakwa banding dan berharap hukumannya dikurangi oleh pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat banding mengabulkannya. Hukuman diturunkan. Lalu sekarang giliran Jaksa Penuntut Umum yang keberatan. Diajukan lagi upaya hukum kasasi agar hukuman dikembalikan seperti apa yang diputus pengadilan tingkat pertama.
3. Putusan pemidanaan dalam perkara yang ada korbannya, di mana Terdakwa menerima hukuman yang dijatuhkan hakim, Jaksa Penuntut Umum juga menerima karena tidak jauh berbeda dengan tuntutan pidana yang diajukannya. Tapi korban yang tidak terima. Karena menganggap hukuman kepada Terdakwa terlalu ringan. Tidak adil menurut korban. Sayangnya, korban tidak punya hak untuk mengajukan banding. Yang punya hak untuk banding dan merupakan representasi dari negara/ korban dalam hal ini Jaksa Penuntut Umu. Tapi Jaksa Penuntut Umum sudah menerima. Sistemnya sudah begitu, mau apa lagi? Akhirnya korban hanya bisa menggerutu saja.
Dari beberapa contoh keadaan-keadaan di atas, bisa kita bayangkan begitu kompleks situasinya. Putusan adil itu menurut siapa? Menurut hakimnya, menurut Jaksa Penuntut Umum, menurut Terdakwa, menurut korban, menurut masyarakat yang memperhatikan perkara? Menurut LSM?, Menurut media? Menurut pengamat hukum?
Prinsipnya, upaya hukum itu diadakan agar ada mekanisme peninjauan, ada pemeriksaan ulang, baik soal fakta-faktanya atau soal penerapan hukumnya. Begitulah proses mengadili yang hingga saat ini kita yakini masih yang terbaik untuk negara ini. Ini baru perkara pidana, belum perkara perdata.
Saya berpikir, kita tidak boleh tergelincir keluar dari rel dan menganggap kerja-kerja mengadili perkara ini sama dengan kerja kerja mekanis. Perkara masuk, dibagikan, fakta diperiksa, Jaksa Penuntut Umum menganggap terbukti, dituntut pidana 2 tahun, putusan dibuatlah minimal 1 tahun 6 bulan atau maksimal sama dengan tuntutannya. Selesai.
Ada juga pemikiran bahwa semakin cepat perkara itu selesai, maka Terdakwa akan semakin cepat menjalani pidana dan cepat berkumpul lagi dengan keluarga. Tidak perlu berama-lama lagi menghadapi proses upaya hukum yang bertingkat itu. Sehingga Hakim dan Jaksa diharapkan 'kompak' dalam soal berat ringannya pidana dalam surat tuntutan dan dalam putusan. Sehingga dalam praktek muncul kebiasaan menghitung setengah, dua pertiga atau sama dengan tuntutan.
Kadangkala bisa demikian, artinya jika setelah direnungkan, dipertimbangkan berat ringan kesalahan terdakwa, akibatnya pada korban dan variabel variabel lain yang terkait, bisa cocok dengan tuntutan pidana atau tidak jauh berbeda. Tapi jika tidak dimungkinkan 'kompak' antara tuntutan dengan putusan, ya tidak perlu dipaksakan. Demi keadilan. Sekali lagi demi keadilan. Biarlah hasil dari pergulatan hakim tingkat pertama itu ditinjau oleh peradilan tingkat banding dan kasasi. Jangan justru dianggap sebagai tolak ukur bahwa putusan itu tidak adil. 'Justice delayed', 'justice denied' katanya, kalau perkaranya berlarut-larut. Ah, nanti dulu, jangan langsung dibawa ke sana. Proses upaya hukum itu jangan diabaikan sebagai proses untuk mencari keadilan.
Kita jangan sampai berat sebelah antara korban dengan Terdakwa. Lupa dengan keberadaan korban dan akibat dari tindak pidana itu, atau juga lupa dengan keadaan Terdakwa karena fokus kepada korban. Kalau hanya condong kepada Terdakwa, maka putusan bisa berat sebelah. Demikian pula kalau hanya condong kepada korban, maka putusan juga bisa terlalu berat bagi Terdakwa. Ada titik tertentu yang harus ditemukan hakim agar diperoleh apa yang disebut adil.
Menurut saya putusan pidana bisa dinilai dengan beberapa parameter, antara lain :
1. Apakah fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan mampu dituangkan ke dalam putusan dengan baik.
2. Apakah pembuktian yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan pembelaan Terdakwa telah dipertimbangkan dengan mengikuti metodologi yang disediakan hukum acara?
3. Proses pengambilan keputusan tidak terpengaruh oleh hal-hal lain yang tercela, seperti adanya suap atau hal lain yang sifatnya koruptif.
Banyak yang berpendapat tidak akan mungkin manusia memberikan keadilan yang hakiki, karena hanya Tuhan yang bisa memberikannya. Oke tidak masalah. Yang penting dan yang akan dinilai adalah usaha dari hakim untuk memberikan yang terbaik menggunakan segala kemampuannya, ilmunya pengetahuannya, keahlian, hati nuraninya. Pendeknya, integritasnya.
#belajarhukum
#AdvokatSuwadi
#anggotaPeradinBanten
#posbakumadinserangkota