Informasi tertua yang menjelaskan agak
rinci tentang masyarakat dan struktur kota Banten diperoleh dari catatan
Yans Kaerel. Ia adalah seorang anggota armada Belanda yang berlabuh di
pelabuhan Banten sekitar Nopember 1596, di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman. Catatannya menyebutkan kota Banten dikelilingi tembok kota dan
berukuran cukup besar, hampir sama dengan kota Amsterdam. Sedangkan
catatan Cornelis de Houtman tahun 1596 menerangkan kapal-kapal asing
yang bersandar di pelabuhan Banten harus dapat ijin dari syahbandar.
Untuk masuk ke dalam kota Banten dari pelabuhan terlebih dahulu harus
melalui tolhuis atau tempat memungut pajak.
Catatan lainnya sekitar tahun 1600
menguraikan bahwa istana menghadap ke utara dan dikelilingi parit serta
rumah-rumah kecil, di sebelah kanan gerbang utama terdapat rumah jaga,
dan setelah melalui pintu masuk istana terlihat ada tempat terbuka
dengan tiang dan permadani. Kesaksian lain tentang Banten diperoleh dari
Wouter Schouten sekitar tahun 1664. Ia mencatat uraian rinci mengenai
istana, masjid, menara dan bangunan lain yang dihuni oleh para bangsawan
serta keraton yang berbenteng.
Sedangkan gambaran tentang luas kota
Surosowan diperoleh dari catatan Valentijn. Menurutnya kota Surosowan
akan selesai dijelajahi dengan jalan kaki dalam waktu dua jam. Catatan
pada masa kemudian diperoleh dari Stavorinus ketika ia mengunjungi
Banten sekitar akhir abad ke-18. Ia menceritakan tentang benteng
Speelwijk dan keadaan sungai waktu itu, yang bagian muaranya sudah
menjadi dangkal sehingga kapal-kapal sukar memasuki pelabuhan.
Di pelabuhan Banten berlabuh
berpuluh-puluh kapal dari berbagai bangsa antara lain; Cina, Keling,
Pagu (sekarang Myanmar). Di kota Banten juga terdapat beberapa pasar dan
yang terbesar adalah pasar Karangantu dimana selain terdapat pedagang
setempat juga terdapat pedagang asing dengan barang dagangan impor
seperti kain sutera, porselin (keramik) Cina.
Gambaran tentang populasi jumlah
penduduk didapat semasa pemerintahan Sultan Abul Mahasin Zaenal Abidin
di tahun 1694 yang telah melakukan catatan penduduk atau sensus penduduk
kota. Dari catatan itu diberitakan kota Banten saat itu berpenduduk
sekitar 31.848 jiwa. Sekitar tahun 1707 juga dilakukan sensus penduduk
kota Banten diperoleh catatan sekitar 36.302 jiwa. Ada catatan lain yang
cukup menarik perhatian diperoleh dari Serrurier sekitar akhir abad 19.
Ia datang ke Kota banten Lama yang walaupun telah ditinggalkan
penduduknya masih dapat diperoleh gambaran adanya 33 pemukiman penduduk
Islam. Ia mendata seluruh pemukiman Islam tersebut yang kemudian dapat
diklasifikasikan menjadi empat kelompok berikut ini;
- Pengelompokkan atas dasar ras dan suku, terdiri dari Kabalen (pemukiman orang Bali), Karoya (pemukiman orang Koja dari india), dan Karangantu (pemukiman orang asing lainnya);
- Pengelompokkan atas dasar keagamaan terdiri dari Kapakihan (pemukiman kaum ulama), dan Kasunyatan (pemukiman orang suci);
- Pengelompokkan atas dasar sosial-ekonomi terdiri dari Pamarican (tempat penyimpanan lada), Pabean (tempat menarik pajak), Panjaringan (pemukiman nelayan), Pasulaman (tempat kerajinan sulam), Kagongan (tempat pembuatan gong), Pamaranggen (tempat pembuatan keris), Pawilahan (tempat kerajinan bambu), Pakawatan (tempat pembuatan jala), Pratok (tempat pembuatan obat), Kepandean (tempat pembuatan alat-alat senjata) dan Pajatran (tempat kerajinan tenun);
- Pengelompokan atas dasar status dalam pemerintahan dan masyarakat terdiri dari Kawangsan (tempat pemukiman Pangeran Wangsa), Kaloran (tempat pemukiman pangeran Lor), Kawiragunan (tempat pemukiman Pengeran Wiraguna), Kapurban (pemukiman pangeran Purba), Kabantenan (pemukiman pejabat pemerintah), Kamandalikan (pemukiman pengeran Mandalika), Keraton (pemukiman Sultan dan Keluarganya), dan Kesatrian (pemukiman tentara).
Mengacu kepada data sejarah dan
arkeologi dapat dikatakan Banten lama memiliki kedudukan sebagai pusat
kota maupun bandar utama. Kerajaan Banten berkembang sejak abad ke-16
hingga akhir abad ke-19. Pada permulaan abad ke-19, Banten ditinggalkan
penduduknya karena faktor politik, kerasnya sikap penguasa Belanda di
Batavia terhadap elit politik dan rakyat Banten. Bahkan mereka membakar
habis keraton Surosowan.
ARSITEKTUR DAN PERKEMBANGAN KOTA BANTEN
Berdasarkan pengamatan terhadap
peninggalan Kota Banten Lama diperoleh gambaran mengenai perkembangan
kota sebagai obyek arsitektur yang senantiasa berubah. Perkembangan
tersebut terutama ditinjau dari latar belakang non fisik. Obyek-obyek
yang tersebar dapat dimanfaatkan untuk mempelajari pola perkembangan
kota dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Semuanya tidak terlepas dari
pengaruh unsur luar, terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan
ideologi kerajaan Banten.
Situs arkeologi Banten Lama memiliki
seni arsitektur cukup tinggi sebagai produk peradaban kerajaan Banten
Islam. Kerajaan ini awalnya berpusat di Banten Girang yang kemudian
berpindah ke kawasan pantai dan mengalami puncak keemasannya pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Awal pendirian kota Banten Lama
dirintis oleh Sultan Hasanuddin dan puteranya Maulana Yusuf.
Hasil kajian historis dan arkeologis
mengenai sejarah Banten lama sebagai suatu kota metropolitan secara
kronologis dapat dijelaskan ke dalam fase-fase berikut ini;
- 1527 – 1570
Menurut catatan kronik Banten, tahun 1526 kota dipindahkan dari Banten Girang (13 km ke arah selatan) ke Surosowan pada masa pemerintahan Maulana hasanuddin. Hal ini dilakukan atas saran ayahnya Syarif Hidayatullah atau Sunan gunung Jati. Sultan Maulana Yusuf penguasa kedua memimpin pembangunan kota. Dinding kota Banten dibuat dari batu-batu dan batu karang. Kota Banten kemudian dilengkapi dengan masjid, keraton, lapangan, pasar dan pelabuhan. - 1570 – 1596
Kota banten telah dikelilingi dinding batu, dan bagian dalam dibagi ke dalam kampung-kampung. Saat itu telah dibuat sebuah kanal untuk mengalirkan air sungai banten ke dalam kota, pertumbuhan kota terus berlanjut. Menurut cornelis de Houtman yang tiba di Banten pada 23 juni 1596 menyebutkan kota tersebut besarnya seperti kota Amsterdam. - 1596 – 1659
Kota Banten terus tumbuh dan memerlukan perluasan kanal-kanal dan tembok-tembok keliling dinding kota yang menghadap ke arah laut dan telah diperkuat dengan bastion-bastion serta kubu pertahanan. Lokasi pasar Karangantu terletak di luar dinding kota, di sebelah muara sungai Banten dan telah diberikan tembok kelilling; di sebelah barat didirikan perkampungan bertembok yang diperuntukkan bagi orang asing. Berdasarkan peta yang dibuat Cortemunde, di sebelah barat kota terdapat penginapan orang-orang Eropa dan komplek orang-orang Cina, beberapa kanal, dinding kota dan jalan dipindahkan. - 1659 – 1725
Setelah berjalan selama dua abad pertumbuhan kota Banten masih terus berlanjut, kanal-kanal telah ditambah. Salah satunya yang tertua digunakan untuk perkampungan orang asing (kota baru) dan disebelah timurnya ada pasar yang ramai. Perbentengan keliling sekarang telah disempurnakan meskipun tidak digambarkan dalam peta Valentijn. Sementara Belanda telah mendirikan perbentengan yang kuat di sudut utara berhadapan dngan laut. Benteng tersebut dibangun atas permintaan Gubernur Jendral VOC waktu itu, Cornelis Speelman dan benteng itu sekarang dikenal dengan sebutan Benteng Spellwijk. - 1725 – 1759
Perluasan jalan dan sistem kanal, pembuatan parit-parit di sekeliling kraton Surosowan dan perbentengan Belanda. Kanal yang melintasi jembatan Rante telah diluruskan ke arah timur sampai bagian selatan pasar Karangantu. Berdasarkan peta Heydt terdapat gambaran proses perpindahan dan perubahan rencana kota meliputi aspek arsitektur, kanal-kanal, jalan-jalan dan tembok-tembok kota. Dengan menganalisis peta-peta kuno dan penginderaan jauh dapat ditelusuri perpindahan dan penafsiran kota lama Banten. Pada tahun 1750 terjadi pemberontakan terbesar di Banten, sejalan dengan perluasan bangunan-bangunan Belanda. Data sejarah menyatakan bahwa tahun 1751 revolusi dapat ditindas, situasi ini telah memperkokoh kedudukan Kompeni Belanda dan menjadikan kerajaan Banten semakin lemah. - 1759 – 1902
Setelah kunjungan Stavorinus pada tahun 1769 hingga 1787, tidak terdapat sumber-sumber lain yang mencatat perkembangan kota Banten. Menurut Breughel yang menulis tentang Banten pada tahun 1787, ada beberapa gudang dan penjara. Juga terdapat sebuah pendopo dengan flafform setinggi 10 – 12 kaki memenuhi permukaan alun-alun. Bagian-bagian pemukiman penduduk asli kota itu tampak tidak terlalu banyak berubah, hanya beberapa rumah yang beratap genteng. Pada tahun 1795 populasi penduduk Banten diperkirakan 90.000 jiwa. Pada tahun 1808 – 1809 kota Banten terbakar, sesudah tahun itu berita tentang kota Banten hanya mencatat bahwa Kaibon didirikan sebagai Kraton pada 1815 untuk ibu Sultan Rafiuddin.
Kota-kota ditanah Jawa muncul sejalan
dengan penyebaran Islam. Beberapa kalangan cenderung berpendapat,
komponen-komponen kota adalah ciri umum yang terdapat di banyak kota di
dunia Muslim. Pola-pola pemukiman didalam kota-kota di Jawa merupakan
adaptasi dari bentuk baku kota-kota Islam. Namun kajian sejarah telah
menunjukkan bahwa asumsi tersebut tidak benar. Distribusi fisik
tempat-tempat umum dan perseorangan di Banten Lama, melanjutkan
tata-letak kota tradisional Jawa sebagaimana halnya komplek-komplek
orang Jawa pada masa pra-Islam. Jawa telah memiliki pola sendiri dalam
urbanisasi dengan beberapa unsur yang serupa dengan kota-kota sejaman di
bagian-bagian lain di Asia Tenggara.
Banten Lama memiliki beberapa ciri yang
secara umum ditemukan dikota-kota islam yang sejaman, baik di Nusantara
maupun di bagian-bagian lain di dunia Muslim. Sebagian besar pusat-pusat
kegiatan utama, sebagaimana kota Islam di Indonesia maupun Afrika dan
negara-negara Arab, memiliki istana, pasar dan masjid. Pemukiman dibagi
menurut pekerjaan dan etnik, sebagaimana halnya kota-kota pada Abad
pertengahan di kota-kota islam lainnya. Bahkan Banten bisa jadi
merupakan kota Islam terbesar tidak hanya pada masanya, tetapi juga
seluruh sejarah Nusantara.
BANTEN KINI SEBAGAI KOTA ZIARAH
Banten kini tidak lebih dari sisa-sisa
sebuah reruntuhan. Bangunan yang masih tersisa hanya sistem kanal,
tembok-tembok keraton, keraton Kaibon, Benteng Speelwijk, sisa-sisa
sistem penjernihan air (pengindelan) serta beberapa sarana pelabuhan.
Meskipun demikian masih tersisa beberapa bangunan yang bisa dianggap
utuh yakni Masjid Agung dan menara Masjid Agung serta beberapa bangunan
masjid lainnya yang berada di luar kota banten lama.
Pada tahun 1915 hingga 1930 Pemerintah
Belanda telah mencoba melakukan pemugaran terhadap kota banten Lama.
Namun pemugaran ini tampaknya tidak terlalu memberikan dampak yang besar
terhadap kondisi kota Banten lama. Setelah fase kemerdekaan pemugaran
dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Penelitian arkelogi mulai
dilakukan sekitar tahun 1976 dan pemugaran kota Banten Lama dimulai
sejak 1978. Hasil kajian arkeologis telah membuktikan bahwa ciri-ciri
kota Banten sebagai kota metropolitan yang diperoleh dari sumber sejarah
kini telah didukung oleh hasil penelitian arkeologi.
Hasil penelitian tersebut antara lain
adalah ditemukannya situs industri logam serta industri gerabah.
Berbagai temuan arkeologis berupa barang impor seperti keramik asing
yang berasal dari berbagai negara ditemukan di banyak tempat di Banten
lama. Hal ini menunjukkan bahwa Banten memang pernah menjai bandar yang
besar. Pemugaran sisa bangunan kota seperti Keraton Surosowan, Kaibon,
Jembatan Rante, benteng Speelwijk, Menara Pacinan lama dan bangunan
lainnya berhasil memberi citra kehadiran reruntuhan bangunan itu sebagai
saksi bisu sejarah eksistensi kota lama Banten.
Sementara itu ada sebuah fenomena baru
yang kini telah turut menjadi citra bagi kota Banten Lama, yaitu tradisi
ziarah. Meskipun belum banyak yang mengetahui sejak kapan tradisi ini
muncul dan berkembang. Berbondong-bondong para peziarah yang datang dan
berkunjung ke banten untuk berziarah ke makam Sultan dan para ulama
Banten. Jumlah peziarah mencapai lebih dari satu juta orang setiap
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Sultan dan para ulama Banten telah
berhasil turut mengislamkan daerah Banten dan Nusantara. Karenanya,
mereka dengan berziarah ingin menunjukkan rasa hormat mereka kepada para
Sultan dan ulamanya.
Ditulis oleh Umar Alatas
:Sumber : http://www.warnaindonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1146