bantencom - Merujuk Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, "Dalam hal terjadinya perceraian: a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya".
Dalam Pasal 105 huruf b KHI dijelaskan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya. Lalu, Pasal 105 huruf c KHI dijelaskan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Dalam banyak kasus hak asuh anak jatuh ke tangan ayah. Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 349K/AG/2006 antara Tamara Blezinsky dan Teuku Rafli merupakan jurisprudence dengan memutuskan Rafli sebagai pihak yang mendapat hak asuh (hadlonah) atas anak mereka bernama Teuku Rassya. Pertimbangan Majelis adalah Tamara Blezinsky merupakan publik figur yang sangat sibuk dengan pekerjaanya kala itu, sering berangkat pagi, pulang bahkan hingga malam hari. Bila anak di bawah asuhan Tamara bakal kurang mendapat perhatian serta kasih sayang. Kekurangan dari sang ibu itulah yang menjadi salah satu pertimbangan majelis kasasi memberikan hak asuh kepada ayah sang anak, Rafli.
Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dalam rumusan kamar perdata umum huruf d menyebutkan, "Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian".
Perlu diperhatikan, kedua orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya hingga anak itu dewasa atau sudah menikah meskipun keduanya telah bercerai sekalipun sebagaimana diatur dalam Pasal 45 jo Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini semata-mata demi kepentingan terbaik bagi sang anak.
Bila ada perselisihan penguasaan anak, Pengadilan bisa memberi keputusan siapa yang paling berhak mendapat hak asuh anak. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Bila bapak tidak dapat memenuhi kewajiban ini, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut. Lalu, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Memang hak asuh anak sebaiknya diberikan kepada ibunya sepanjang anak belum dewasa dan baligh. Ibu dianggap lebih dapat mengatur anak dan cenderung telaten mengasuh dan mendidik anak. Namun begitu, tak tertutup kemungkinan hak asuh anak jatuh kepada sang ayah sepanjang ibunya terbukti memiliki kelakuan yang tidak baik dan dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu.
Dalam menentukan pihak yang berhak mengasuh anak (dalam perkara gugatan perceraian/ cerai talak) perlu mempertimbangkan faktor pekerjaan ayah atau ibu si anak. Yang terpenting hak asuh anak yang diutamakan kepentingan yang terbaik bagi sang anak. Ibu pun berhak mendapat hak asuh anak meski dianggap kurang mampu. Sebab yang wajib menafkahi anak adalah sang ayah. Meski bercerai, tidak berarti ayah berhenti menafkahi sang anak.
Pasca perceraian, sang ibu dapat kehilangan hak asuh anaknya berdasarkan sejumlah pertimbangan. Pasal 165 huruf c KHI menegaskan, seorang ibu dapat kehilangan hak asuh anaknya, meskipun masih berusia di bawah 12 tahun,"apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula".
Si Ayah dapat mengajukan permohonan ke pengadilan agama terkait pemindahan hak asuh anak (hadlanah) berdasarkan sejumlah alasan-alasan kuat yang mendukung terkabulnya permohonan peralihan hak asuh anak tersebut. Putusan PA Jakarta Pusat Nomor 0419/PDT.G/2014/PA.JP menganut hukum progresif yang putusannya "menyimpang" dari ketentuan Pasal 105 huruf a KHI. Pertimbangan Majelis cenderung memberi perlindungan yang aman dan pasti terhadap hak asuh, pemeliharaan, pengawasan terhadap si anak.
Selanjutnya, anak pun memiliki hak mendapat pengasuhan hingga proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya yang telah bercerai. Pasal 14 ayat (2) UU No.25 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, "Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak: a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan d. memperoleh Hak Anak lainnya".
Norma ini diperkuat SEMA No.1 Tahun 2017, dalam rumusan kamar agama poin 4 yang menyebutkan"Dalam amar penetapan hak asuh anak (hadlanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadlanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah untuk bertemu dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadlanah".
#belajarhukum
#advokatsuwadi