Serang, bantencom - Kehadiran masyarakat etnis Tionghoa mempunyai sejarah yang panjang di tanah Banten. Bahkan, bagaimana toleransi antar budaya, antar agama, dan antar negara dapat tergambarkan melalui kehadiran Vihara Avalokitesvara yang berlokasi di Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.
Salah satu yang menarik para saudagar dari berbagai macam negara datang karena perdagangan di Kesultanan Banten waktu itu mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui Pelabuhan Karangantu nya. Termasuk saudagar dari Tionghoa, Arab, dan Eropa. Sehingga, menjadikan Banten waktu itu sebagai pusat perdagangan yang bercirikan masyarakat kosmopolitan.
"Putri Ong Tin Nio bersama para anak buah kapal waktu itu memutuskan untuk bermalam di Pamarica, karena saat itu daerah sini banyak merica," kata Humas Vihara Avalokitesvara, Asaji Manggala Putra, saat ditemui diruangannya, Kamis (19/2).
Alasan Putri Ing Tin Nio bermalam Pamarica karena persediaan di kapal yang semakin menipis guna melanjutkan perjalanan dari Negeri Cina ke Surabaya.
Setelah menginap beberapa hari, ternyata sang putri merasa betah untuk tinggal di Banten. Namun, kedatangannya membuat beberapa warga sekitar merasa terganggu dan resah.
"Kedatangannya dianggap ancaman merusak tradisi dan kepercayaan masyarakat," terangnya.
Akibatnya, hal ini membuat pergesekan semakin memanas, ditambah dibangunnya vihara yang pada awalnya berada di bekas kantor bea (douane) yang digunakan untuk sembahyang orang Cina.
Kehadiran vihara ini membuat masyarakat di Banten waktu itu ingin mengusir para orang Cina, karena bisa merusak keimanan masyarakat Islam waktu itu.
"Dari situlah figur Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mengambil perannya dengan melakukan mediasi antara warga dengan Sang Putri," jelasnya.
Sunan Gunung Jati menegur keras masyarakat Banten, karena tidak ada paksaan dalam beragama. Khususnya memaksa warga pendatang harus memeluk Islam. Hingga pada akhirnya, Sunan Gunung Jati hanya sebatas menawarkan kepada Putri Ong Tin Nio dan rombongannya untuk memeluk Islam tanpa ada paksaan.
Sehingga, salah seorang pengawal Sunan Gunung Jati menyarankan agar Putri Ong menjadi mualaf dan menikah dengan Sunan agar masyarakat setempat bisa menghormati sang Putri.
Setelah pertemuan tersebut, membuat Putri Ong 'galau' apakah akan menerima tawaran sang Sunan Gunung Jati untuk memeluk agama baru dan menikah dengannya, karena tenyata sang Putri Ong pun menaruh hati pada Sunan Gunung Jati.
Sehingga pada suatu hari, Putri Ong dan rombongan pun menyatakan diri memeluk agama Islam yang disaksikan langsung oleh Sunan Gunung Jati.
Guna menyimbolkan persatuan antara dua agama dan dua kebudayaan yang berbeda, maka Sunan Gunung Jati membuat Masjid Agung Banten Lama dan Vihara yang bernama Avalokitesvara.
"Posisinya yang dekat (Vihara dan Masjid) menandakan hubungan harmonis antara etnis Tionghoa dan penduduk setempat yang memeluk Islam," tegasnya.
Mengenai kedatangan masyarakat Tionghoa ke Banten sendiri terdapat banyak fersi, ada yang menyebutkan bahwa masyarakat Cina datang ke Kesultanan Banten sekitar abad 17 masehi.
Dimana, pada abad tersebut, banyak ditemukan perahu Cina yang berlabuh di Banten dengan tujuan berdagang dan barter dengan lada.
Berdasarkan catatan sejarah dari J. P. Coen sendiri, banyak perahu Cina yang membawa dagangan senilain 300 ribu real. Dimana, dalam kelanjutannya, masyarakat Cina tak hanya berdagang, tapi bermukim di Banten dengan lebih dari 1.300 kepala keluarga (KK).
Vihara Avalokiteswara sendiri di bangun pada tahun 1952 masehi dan mengalami perpindahan beberapa kali. Seperti di tahun 1659 masehi, Vihara ini menempati Loji Belanda, lalu ditahun 1725 pindah di sebelah selatan menara Masjid Pecinan Tinggi, baru ditahun 1774 hingga kini berlokasi di kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.
Perayaan tahun baru Imlek yang ke 2566 ini, Vihara Avalokiteswara sendiri ramai di datangi oleh etnis Cina untuk berdoa dan agar diberi keberuntungan di tahun Kambing ini.
"Semoga kita semua diberi keberkahan oleh sang maha pencipta. Indonesia pun semakin baik lagi," kata Janto, salah satu pengunjung asal Jakarta yang berdoa di Vihara Avalokiteswara, Kamis (19/2)