Disampaikan lapora pengaduan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia yang disampaikan oleh Bapak Nonot Harsono kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia menggenai laporan tentang penanganan kasus IM2 yang mengancam industry. Laporan pengaduan tersebut disampaikan pada Bapak Nonot Harsono beserta Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) yang diwakili oleh Setyant, Ketua Mastel pada Rabu, 17 Juli 2013. Pengaduan tersebut diterima oleh Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki.
Kiranya dapat menjadi update informasi rekan-rekan media.
Terima kasih.
Kepada Yth.:
Komisi Yudisial Republik Indonesia
di Jl. Kramat Raya No. 57, Jakarta Pusat
Perihal: laporan tentang penanganan kasus IM2 yang mengancam industri
Dengan Hormat,
Dengan ini kami melaporkan bahwa substansi perkara dalam kasus IM2-Indosat adalah kekeliruan persepsi tentang maksud “menggunakan pita frekuensi radio”. Kekeliruan persepsi ini kemudian ditetapkan oleh Pengadilan menjadi sebuah “kebenaran” yang tentu akan mengikat semua stake-holders
telekomunikasi. Karena dianggap menggunakan pita frekuensi, maka
dianggap wajib membayar BHP-frekuensi. Karena IM2 dianggap tidak
membayar biaya hak penggunaan frekuensi itu, lalu didakwa dan diputus
Tipikor.
Jadi, kasus Tipikor ini muncul dari persepsi “IM2 menggunakan pita frekuensi”.
Kejaksaan menerima dan meyakini laporan dari LSM, lalu Majelis Hakim
mengesahkan persepsi yang keliru itu. Berdasar persepsi yang keliru ini
Majelis Hakim memutus bahwa IM2 telah melakukan tindak pidana korupsi,
yaitu tidak membayar BHP-frekuensi.
Pertanyaan besarnya adalah: “Atas dasar apa Majelis Hakim meyakini bahwa IM2 menggunakan pita frekuensi radio yang dialokasikan untuk PT Indosat?” Jawabnya adalah keterangan JPU yang menyatakan telah melakukan pengukuran di beberapa kota menggunakan alat ukur bernama Spectrum Analyzer
dan software aplikasi dengan memakai SIM-card milik Indosat. Dikatakan
dalam amar putusan yang menyalin 100% ke-terangan JPU, bahwa secara
nyata tampak pada layar Spectrum Analyzer, modem-dongle pelanggan IM2 memancar pada pita frekuensi milik PT Indosat Tbk. Lalu disimpulkan berdasar wawasan sendiri, bahwa IM2 menggunakan pita frekuensi milik PT Indosat Tbk.
Majelis Hakim mengabaikan penjelasan belasan saksi dan ahli bahwa hasil pengukuran di beberapa kota itu justru membuktikan bahwa pelanggan IM2 mengakses internet melalui jaringan seluler milik PT Indosat Tbk. Karena
yang dipakai adalah SIM-card milik Indosat, maka TENTU SAJA sinyal
radio dari pelanggan IM2 menempati pita frekuensi Indosat. Inilah yang dimaksud oleh UU 36 tahun 1999 dengan “Penyelenggara Jasa menggunakan Jaringan milik Penyelenggara Jaringan” dan tidak perlu membayar BHP-frekuensi.
Majelis Hakim juga mengabaikan keterangan resmi Menteri Kominfo bahwa
kerjasama IM2-Indosat adalah hal lazim yang memang didorong oleh
regulasi yang ada. Majelis Hakim juga mengabaikan BRTI yang telah
beritikad baik memberi keterangan tertulis kepada Majelis Hakim pada
bulan pertama Pengadilan Tipikor berlangsung.
Karena dipahami keliru bahwa “IM2 menggunakan pita frekuensi 2.1GHz” maka secara otomatis
akan berlaku Pasal 17, Pasal 25, Pasal 29, dan Pasal 30 PP 53 tahun
2000, serta Pasal 34 UU 36 tahun 1999, yaitu pasal-pasal yang berisi
kewajiban bagi para pengguna spektrum frekuensi. Pemikiran bahwa ada
kewajiban regulatif telekomunikasi yang tidak dipenuhi inilah yang
kemudian dikait-kaitkan oleh JPU dengan Pasal 2 dan 3 dari UU nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian
dibenarkan oleh Majelis Hakim Tipikor melalui putusan 4 tahun penjara
ditambah denda 200 juta, serta membayar kewajiban BHP-frekuensi sebesar
Rp. 1,358 Trilyun.
Akibat
perilaku abai terhadap keterangan dari pihak yang kompeten dan
berwenang penuh di bidang telekomunikasi, Majelis Hakim telah mengambil
putusan yang keliru dan menghukum orang tidak bersalah. Selain itu,
karena pertimbangan yang mendasari Putusan Pengadilan Tipikor atas kasus
IM2 secara nyata memberikan penafsiran baru atas re-gulasi telekomunikasi,
maka akan berdampak sangat besar pada industri telekomunikasi.
Setidaknya ada tiga hal penting yang termuat dalam amar putusan Majelis
Hakim Tipikor yang mengancam kelangsungan industri telekomunikasi,
sebagai berikut:
1. PKS
antara penyelenggara jasa dan penyelenggara jaringan seluler yang
awalnya didorong untuk berkembang, setelah putusan pengadilan berubah
menjadi perbuatan melawan hukum.
2. Semua jenis penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang memanfaatkan jaringan bergerak seluler dan semua radio-link yang di-share, menjadi wajib membayar BHP-frekuensi sebesar yang telah dibayarkan oleh pemilik jaringan.
3. Semua penyelenggara Jasa yang bermitra dengan penyelenggara jaringan harus memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan.
Dampaknya akan mengena pada seluruh penyeleggara jasa ISPs, Content-Providers, OTT players, toko online, jaringan ATM Perbankan, m-kiosk yang
dijalankan mitra usaha, layanan M2M, penyelenggara jaringan yang
menyewa radio-link, dan seluruh penyelenggara Jasa telekomunikasi yang
tidak memiliki jaringan. Seluruhnya akan termasuk katagori menggunakan pita frekuensi dan/atau melawan hukum
sehingga harus dihentikan pada saat putusan pengadilan telah
berkekuatan hukum tetap. Pada saat itu pula seluruh hak pelanggan harus
dikembalikan. Ratusan Direktur perusahaan harus
dipenjara masing-masing 4-tahun dan setiap perusahaan wajib membayar Rp.
1,358 trilyun yang pasti akan langsung bangkrut bahkan akan berhutang
kepada negara karena mereka adalah UKM yang tidak mungkin mampu membayar
sebesar itu. Pasca putusan berkekuatan hukum tetap nanti, para pelaku
usaha harus mendapat kepastian tentang “regulasi” dan “regulator” mana
yang harus dianut, Pengadilan/Kejaksaan atau kah KemKominfo/BRTI.
Untuk
memberikan gambaran seutuhnya, bersama ini kami lampirkan Kajian
Regulatif atas vonis kasus IM2. Mohon perkenan Komisi Yudisial untuk
mempelajarinya. Atas perkenannya, kami menyampaikan terima kasih. Semoga
laporan ini bisa menjadi bahan untuk memperbaiki tatakelola negara
hukum Republik Indonesia.
Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi – BRTI,
Nonot Harsono