BAGAIMANA HAKIM HARUS MEMUTUS PERKARA?

Diposkan oleh On 4/26/2020 02:35:00 PM with No comments

Serang, bantencom - Masyarakat terdiri dari warga masyarakat yang selalu mengadakan interaksi, hubungan atau kontak satu sama lain. Interaksi dapat berupa hal-hal yang menyenangkan seperti kerjasama dalam jual beli dengan mencari keuntungan, perkawinan dan sebagainya, tetapi juga bisa dalam hal yang tidak menyenangkan contohnya perkelahian, perselisihan, sengketa  atau pelanggaran lainya. Interaksi ini sudah ada sejak manusia ada dan sejak itu pula manusia berusaha menyelesaikan konflik kepentingan atau pelanggaran itu agar keseimbangan tatanan di dalam masyarakat yang terganggu oleh pelanggaran - pelanggaran itu dapat dipulihkan kembali ( restitutio in integrum ). Konflik kepentingan inilah yang selalu diusahakan untuk dihindari atau diselesaikan untuk mencapai ketertiban atau stabilitas di dalam masyarakat. Bagaimana caranya hakim memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan yang adil atau setidaknya yang mendekati keadilan atau memuaskan para pihak? Manusia pada umumnya mencari benarnya sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa pihak yang dikalahkan atau dihukum akan berpendapat bahwa putusan hakim yang mengalahkan atau menghukumnya itu tidak adil. Akan tetapi hakim wajib menjatuhkan putusan dan berusaha sedemikian rupa sehingga putusannya itu dapat diterima oleh para pihak dan juga masyarakat, sebab pada hakikatnya masyarakat ikut pula menilai apakah putusan  itu adil atau tidak. Kegiatan jakim sejak interogasi atau tanya jawab kemudian membuktikan sampai pada menjatuhkan putusan, bukan kegiatan yang bersifat rasional logis semata yang menuntut kecerdasan intelektual semata mata namun juga dibarengi oleh intuisi "roso pangroso" dan penilaian tentang baik dan buruk ikut berbicara. Itu merupakan seni yang mengharuskan hakim mempunyai naluri kebenaran yang komprehensif, menyeluruh dan paripurna. Bila hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas maka hukumnya harus dilengkapi atau diketemukan terlebih dahulu agar adil dalam menjatuhkan putusan. Disinilah hakim akan menggunakan intuisinya untuk berbuat demi keadilan masyarakat. Tidak mengherankan kalau VON SAVIGNY menyebut penafsiran sebagai suatu seni : "eine Kunstdie sich ebinsowenig als irgend eine endere, durch Regeln mitteilen oder erwerben laszt" (dalam v. Dijk et al., 1965:463) Putusan hakim yang ideal itu adalah apabila mengandung unsur-unsur Gerechtigkeit (keadilan) Zwekmassigkeit (kemnfaatan) dan Rechtssicherheit (kepastian hukum) secara proporsional. (Radbruch, 1946:30) Untuk mengusahakan adanya keseimbangan antara tiga unsur diatas secara proporsional dalam satu putusan tidaklah mudah. Hal tersebut memerlukan seni dan kiat tersendiri oleh hakim. Kalau keadilannya lebih dipentingkan maka kepastian hukumnya dikorbankan. Kalau kepastian hukumnya didahulukan maka keadilannya dikorbankan. Dalam hal terjadi konflik kepentingan antara kepastian hukum dengan keadilan maka hakim berdasarkan Freies Ermessennya (kebebasanya) dapat memilih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan negara. Pemikiran ini dikenal sebagai "problem oriented thinking". Sekalipun PERADILAN itu SENI tetapi seni tersebut harus didasarkan atas ILMU, LOGIKA  atau KECERDASAN INTELEKTUAL.  HOLMES mengatakan "the life of law has not been logic but experience" Sekalipun peradilan itu seni yang didasarkan atas ilmu tetapi putusan hakim bukanlah hasil ilmu melainkan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum dan sekaligus merupakan sumber penemuan hukum. (Advokat Suwadi, praktisi hukum serta pengamat hukum sosial kemasyarakatan. ) Serang, Banten, 26 April 2020.
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »