Allah Swt berfirman yang artinya, “Hanya kepada-Mulah kami beribadah, (inilah yang dimaksud dengan ibadah). Dan, hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan, (inilah yang dimaksud dengan isti’anah).” (Q.S. Al-Fatihah [1]: 5).
Ibadah adalah satu ungkapan akumulasi kesempurnaan terhadap dua hal;
puncak kecintaan dan puncak ketundukan. Untuk memahaminya kita bisa
mengilustrasi sebagai berikut, seorang ayah atau ibu sudah pasti ia
mencintai anaknya. Tapi, keduanya tidak tunduk dan patuh kepada anak
tersebut. Bahkan terkadang, beberapa kemauan anak dicegah demi
kebaikannya. Maka, kedua orang tua tersebut tidak beribadah kepada
anaknya. Hal ini karena tidak ada unsur ketundukan, meskipun disana ada
unsur kecintaan. Begitu pula dengan seorang budak. Ia akan selalu tunduk
kepada tuannya dan melaksanakan apa yang diperintahkan olehnya. Tetapi
ketundukan dia bukanlah wujud dari rasa kecintaan dirinya kepada
tuannya. Jadi yang dimaksud dengan ibadah adalah ungkapan akumulasi
kesempurnaan dari kecintaan dan juga ketundukan.
Adapun yang dimaksud dengan isti’anah (memohon pertolongan) adalah
ungkapan akumulasi kesempurnaan terhadap dua hal; tsiqqoh (percaya)
kepada Allah Swt dan i’timad (bersandar penuh) kepada-Nya.
Karena faktor kebutuhan, terkadang seseorang menyandarkan suatu
urusan kepada yang lain, walaupun ia tidak percaya kepadanya.
Sebaliknya, karena tidak membutuhkan, bisa saja seseorang percaya kepada
yang lain, tetapi tidak bersandar kepadanya. Terlepas dari itu semua,
adakah manusia yang tidak membutuhkan Allah Swt, Dzat Yang Maha Mampu
atas segalanya, yang mengatur alam dan seisinya? Kalaulah ada orang yang
tidak tsiqqah kepada Allah Azza wa Jalla pastilah ia seorang kafir.
Apabila kita perhatikan surat alfatihah di atas, maka kita dapatkan
bahwa ibadah lebih didahulukan daripada isti’anah. Menurut Ibnul Qoyyim
al-Jauziyah hal ini karena beberapa hal:
[1] Karena ibadah adalah tujuan, sementara isti’anah adalah wasilah
(sarana). Ibadah adalah tujuan diciptakannya hamba, sementara isti’anah
adalah wasilah untuk mencapai tujuan itu. [2] Karena isti’anah adalah
bagian dari ibadah dan bukan sebaliknya. [3] Karena ibadah tidak akan
muncul kecuali dari orang yang ikhlas. Sedangkan isti’anah bisa muncul,
baik dari hamba yang ikhlas maupun yang tidak. [4] Karena ibadah bisa
dikatakan ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan,
sedangkan i’aanah (pertolongan) adalah perbutan dan taufiq Allah. [5]
Karena ibadah dipagari dengan dua macam pertolongan, yaitu pertolongan
untuk bisa beriltizam dan menegakkannya, serta pertolongan- setelah
ibadah, yaitu untuk bisa melaksanakan bentuk ibadah yang lain dan bisa
konsisten menjalankannya, sampai ajal datang.
Ibnul Qayyim juga menyebutkan bahwa ungkapan lain dari isti’anah
adalah rasa tawakkal. Begitu pentingnya ibadah dan isti’anah (tawakal)
ini, sehingga beberapa kali Allah Swt menyebutkannya secara bersamaan.
Diantaranya adalah firman Allah Swt sebagai berikut:“Dan kepunyaan
Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka ibadahilah Dia dan bertakwalah
kepadanya.” (QS. Huud: 123)
“Ya Robb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya
kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami
kembali.” (Al-Mumtahanah: 4)
“Dialah Rabbku tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia;
hanya kepadaNya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (QS. Ar-Ro’du: 30)
Dalam beribadah dan beristi’anah, manusia terbagi menjadi empat
golongan. Golongan yang paling afdal yaitu ahli ibadah sekaligus ahli
isti’anah. Bagi kelompok ini ibadah kepada Allah Swt adalah terminal
akhir mereka. Untuk itu, mereka meminta pertolongan kepada Allah Swt
agar membantu mereka terhadap hal ini dan memberikan taufik untuk
melaksanakannya. Oleh sebab itu, termasuk doa yang afdal untuk diucapkan
adalah doa agar diberi pertolongan (i’anah) dalam beribadah kepada-Nya.
Rasulullah mengajarkan sebuah doa kepada Mua’adz bin Jabal r.a.
beliau bersabda yang artinya, “Wahai Mu’adz demi Allah, aku benar-benar
mencintaimu. Dan janganlah kamu lupa setiap penghujung shalat untuk
membaca, Ya Allah, berikanlah i’anah kepadaku untuk berdzikir, bersyukur
dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan
al-Hakim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Aku perhatikan seluruh doa,
ternyata yang paling bermanfaat adalah doa meminta pertolongan untuk
mendapatkan ridho-Nya. Kemudian aku melihat dalam surat al-Fatihah,
ternyata ia adalah iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.”
Kelompok kedua adalah mereka yang berpaling dari ibadah dan
isti’anah. Kalaupun ada diantara mereka yang beribadah atau
beristi’anah, hal itu dilakukan hanyalah dalam rangka memenuhi syahwat
atau kebutuhannya. Bukan atas dasar ridho kepada Allah Swt atau memenuhi
hak-hakNya. Dan, Allah banyak mengabulkan segala permintaan
hamba-hambaNya termasuk iblis. Namun, karena permintaannya bukan untuk
menggapai ridho Allah, maka pengabulan dan pemberian Allah ini hanya
akan menambah kesengsaraan dan jauhnya dirinya dari Allah Swt. Dan
demikianlah yang akan terjadi, kepada semua saja yang meminta
pertolongan kepada Allah Swt untuk suatu perkara yang bukan dalam rangka
menggapai keridhoan-Nya.
Seorang yang berakal, pastilah ia memperhatikan dirinya dan orang
lain. Sudah pasti, ia mengerti bahwa dikabulkannya suatu permintaan oleh
Allah tidaklah selalu bermakna bahwa Allah memuliakannya. Suatu saat,
seorang hamba meminta sesuatu yang ia butuhkan kepada Allah, lalu Dia
memenuhinya. Padahal, disanalah letak kehancurannya. Betapa banyak
orang-orang yang menjadi bakhil setelah dilapangkan rizki-Nya. Betapa
banyak orang-orang yang menjadi takabbur dan zalim setelah diberi
kekuasaan. Sementara di saat yang lain, Allah Swt tidak mengabulkan
permintaan hamba-Nya. Bukan apa-apa, hal ini justru karena Allah SWT
menghendaki kemuliaan baginya. Allah tidak memberi dalam rangka menjaga
dan memeliharanya dan bukan karena bakhil. Namun sayang sekali,
orang-orang yang bodoh malah berburuk sangka, merasa dihinakan oleh
Allah Swt.
Allah Swt berfirman yang artinya, “Adapun bila Rabbnya mengujinya
lalu membatasi rizkinya maka dia berkata, Rabbku menghinakanku.”
(Al-Fajr: 16)
Allah Swt menyangkal pendapat orang yang memastikan bahwa lapangnya
rezeki merupakan ikrom (pemuliaan) dari-Nya, dan kefakiran adalah ihanah
(penghinaan). Allah Swt menjelaskan bahwa ikram dan ihanah tidaklah
didasarkan kepada banyaknya harta, lapangnya rezeki atau kefakiran.
Terkadang, Allah Swt melapangkan rezeki bagi orang kafir dan sebaliknya
tidak memberikannya kepada orang mukmin. Tentu, itu bukanlah suatu
kemuliaan bagi orang kafir dan kehinaan bagi orang mukmin.
Sesungguhnya Allah Swt hanya memuliakan orang-orang yang
memuliakan-Nya dengan mengenal-Nya, cinta kepada-Nya dan mentaati-Nya.
Dan, Allah Swt hanya menghinakan orang-orang yang menghinakan-Nya, yakni
orang-orang yang berpaling dari-Nya atau bermaksiat kepada-Nya.
Sesungguhnya kemuliaan yang hakiki berporos kepada intensitas seseorang dalam mengejawantahkan Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in (Hanya kepada-Mulah kami beribadah dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan).
Kelompok yang ketiga adalah golongan yang hanya beribadah, tanpa
meminta pertolongan (isti’anah) kepada Allah Swt. Mereka beranggapan
bahwa ibadah yang mereka kerjakan sudah cukup untuk dijadikan bekal
safar ke negeri akhirat. Mereka lupa bahwa ada dua hal yang pasti, su’ul
khaatimah dan khusnul khatimah. Tanpa pertolongan dan rahmat dari Allah
Swt, seorang muslim bisa saja (bahkan pasti) mengalami futur
(stagnasi/mandeg) dalam beramal, lalu berkelanjutan dan berakhir dengan
kekafiran yang mengekalkannya tinggal di neraka. Na’udzubillaahi min
dzaalik.
Kelompok yang ketiga ini masih termasuk golongan kaum muslimin,
karena ibadah mereka, hanya saja ada nila kurang. Duhai, andaikan mereka
mau beristi’anah dan bertawakkal.
Kelompok keempat adalah mereka yang mengerti betul bahwa hanya Allah
yang bisa mendatangkan dan mencegah manfaat atau madharat (bahaya).
Mereka juga tahu bahwa apa saja yang menjadi kehendak-Nya pasti terjadi.
Namun demikian, mereka tidak mau menghiasi diri dengan hal-hal yang
dicintai dan diridhoi Allah Swt. Kalaupun mereka bertawakal dan
beristi’anah, hal itu mereka lakukan sebatas memenuh syahwat dan
ambisinya.
Satu hal yang harus kita fahami bahwa kekuasan, pangkat, pengaruh dan
harta tidaklah Allah khususkan bagi orang-orang yang shaleh saja.
orang-orang faajir atau maksiat pun mendapat bagian. Tetapi sekali lagi,
itu bukanlah ukuran untuk dijadikan jaminan menjadi wali atau kekasih
Allah Swt.
Marilah kita berdoa semoga Allah menjadikan kita orang yang selain ahli ibadah juga ahli isti’anah kepada-Nya. Amin.
Diadaptasi dari Tahdziib Madaarijus Saalikiin Ibnu Qoyyim, Abdul Mun’im bin Sholih al-Aliy al-’Izz. sumber: http://www.oaseimani.com/97245.html